PERKEMBANGAN SOSIAL, MORAL, KEPRIBADIAN DAN SPIRITUAL
A. PERKEMBANGAN SOSIAL
Perkembangan sosial di Indonesia dimulai dengan reformasi yang membawa perubahan terhadap tantanan kehidupan. Reformasi merupakan suatu proses perbaikan dengan melakukan koreksi terhadap unsur-unsur yang rusak, dengan tetap mempertahankan elemen budaya dasar yang masih fungsional, tanpa merubah bentuk masyarakat dan budaya secara total dan mendasar. Transformasi adalah perubahan yang sifatnya lebih cepat, total, mendasar dan menyeluruh. Sedangkan deformasi merupakan kerusakan pada keteraturan sosial tersebut.
Perubahan yang cepat tersebut harus mampu mempertahankan “cultural continuity”, dan disini suatu unsur yang amat perlu dipertahankan adalah kesepakatan-kesepakatan nilai (commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih dari 60 tahun silam.
Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi pergeseran-pergeseran yang diantaranya sebagai berikut:
1. Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi Oligarki
Kekuasaan terpusat
pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh
dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi dsb.). Krisis dlm representative democracy dan civil society.
2. Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–Cultural
Animosity).
Pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi
antara pendukung fanatik Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas
antar suku, agama, kelas sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertical antara
kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat
kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi
destruktif (tidak fungsional tetapi disfungsional). Kita menjadi “self
destroying nation”.
• Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya
konflik terbuka (manifest conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden
atau latent conflict” antara berbagai golongan.
• Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang
bersumber dari perbedaan ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan
oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam.
Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi
kebencian yang berlangsung dihampir seluruh pranata sosialisasi (agent of
socialization) di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat
ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik dsb.
• Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya
(civic culture)
• Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang
kurang mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif
(integrasi normatif), tetapi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi
koersif).
• Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu
“socio-cultural policy” dan “socio-cultural” planning - yang berdasarkan
analisis sosiologis-antropologis yang mendalam dan metode pemecahan masalah
yang dipelajari dari berbagai pengalaman bangsa yang lain - amat kita perlukan.
Kemiskinan dan ketidak adilan sering ”jatuh bersamaan”
dengan identitas sosial tertentu.
Karena kebencian sosial yang tersembunyi, maka timbul suatu budaya merebaknya pengangguran. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak memiliki status sosial yang jelas (statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku yang pantas atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari tanggungjawab sosial. Dalam kondisi yang ekstrim penganggur tidak peduli terhadap keteraturan sosial, dan bahkan menginginkan terjadinya “kekacauan sosial” (social disorder atau bahkan chaos) agar mendapat keutungan dari ketidak-teraturan itu. Saat ini ada gumpalan massa penganggur yang jumlahnya 9,5 juta (pada th 2003). Mereka banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik sebagai alat penekan dan pembenaran aspirasi politik mereka, sehingga demonstrasi saat ini tidak selalu merupakan ekspresi dari aspirasi rakyat yang murni.
B. PERKEMBANGAN MORAL
Kata Moral
berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan.
Kata mos jika akan dijadikan kata keterangan atau kata sifat
lalu mendapat perubahan dan belakangannnya, sehingga membiasakan menjadi “morris”
kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral adalah kata nama sifat dari
kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan
itu, yang semula berbunyi moralis.
Kata
sifat tidak akan berdiri sendiri dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan
dengan barang lain. Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu
dihubungkan dengan scientia dan berbunyi scientis moralis,
atau philosophia moralis. Karena biasanya orag-orang telah
mengetahui bahwa pemakaian selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai
arti ilmu. Maka untuk mudahnya disingkat jadi moral. Perkata diartikan
dengan ajaran kesusilaan, tabiat atau kelakuan.
Dengan
demikian moral dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas
berarti hal mengenai kesusialaan. Sedang, etika merupakan suatu ilmu yang
membicarakan tentang perilaku manusia, perbuatan manusia yang baik dan yang
buruk. (Ethics the study and phylosophy of human conduct with emphasis
on the determination of right and wrong one of the normative sciences).
Menurut hukum ethika sesuatu
perbuatan itu dinilai pada 3 tingkat :
- semasih belum lahir jadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam kata hati; niat
- sesudahnya sudah berupa perbuatan nyata = pekerti
- akibat atau hasil dari perbuatan itu = baik atau tidak baik
Variabel pencapaian dari niat
atau karsa itu sendiri adalah sebagai berikut;
- tujuannya baik tetapi cara mencapainya tidak baik
- tujuannya yang tidak baik cara mencapainya (kelihatannya) baik
- Tujuannya baik cara mencapainya juga baik
Cara pertama
ini menggambarkan adanya sesuatu kekerasan . masalah tujuan yang tidak
perlu dibicarakan lagi karena sudah jelas baik yag dinilai sekarang ialah cara
mencapainya.
Cara kedua
tujuan jahat tetapi cara memperolehnya kelihatannya baik. Ini
menggambarkan bahwa yang ditempuh itu tidak fair, tidak sehat tetapi licik diliputi
oleh kepalsuan, penipuan
Teori Piaget
Dalam bukunya
The moral judgement of the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa
kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih
tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah
bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia
mendekati pertanyaan itu dari dua sudut. Pertama kesadaran akan
peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua,
pelaksanaan dari peraturan itu.
Piaget
mengamati anak-anak bermain kelereng, suatu permainan yang lazim dilakukan oleh
anak-anak diseluruh dunia dan permainan itu jarang diajarkan secara formal oleh
orang dewasa.
Dengan
demikian permainan itu mempunyai peraturan yang jarang atau malah tidak
sama sekali ada campur tangan orang dewasa. Dan melalui perkembangan umur
maka orientasi perkembangan itupun berkembang dari sikap heteronom (
bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang lain) menjadi otonom 9 dari
dalam diri sendiri. Pada tahap heteronom anak-anak menggangap bahwa
peraturan yang diberlakukan dan berasal dari bukan dirinya merupakan sesuatu
yang patut dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati oleh pemain. Pada
tahap otonom, anak-anak beranggapan bahwa perauran-peraturan merupakan
hasil kesepakatan bersama antara para pemain.
Anak-anak
pada usia paling muda hingga umur 2 tahun melakukan aktivitas bermain
dengan apa adanya, tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut untuk mereka
patuhi. Mereka adalah motor activity tanpa dipimpin oleh
pikiran. Pada tahap ini merepa belum menyadari adanya peraturan yang koersif,
atau bersifat memaksa dan harus di taati.
Dalam
pelaksanaannya peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu merupakan motor
activiy.
Anak-anak
pada umur antara 2 sampai 6 tahun mereka telah mulai memperhatikan dan bahkan
meniru cara bermain anak-anak yang lebih besar dari mereka. Pada
tahap ini anak-anak telah mulai menyadari adanya peraturan dan ketaatan yang
telah dibuat dari luar dirinya dan harus ditaati dan tidak boleh diganggu
gugat. Pada tahap ini anak-anak cenderung bersikap egosentris,
mereka akan memandang “sangat salah” apabila aturan yang telah ada di
ubah dan dilanggar. Dan ia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi
untuk dirinya sendiri, tidak tahu bahwa bermain adalah aktivitas yang dilakukan
dengan anak-anak lainnya. Sehingga meskipun bermain dilakukan secara bersama
sama namun sebenarnya mereka bermain secara individu, sendiri-sendiri dengan
melakukan pola dan cara yang mereka yakini sendiri. Pelaksanaan yang
bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari tahap yang
individualistis murni ke tahap permainan yang bersifat social.
Anak pada
usia 7-10 tahun beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada
kesenangan yang didapatkan dari persaingan dengan kawan main dengan mengikuti
peraturan-peraturan yang berlaku dan disetujui bersama. Walaupun
sebenarnya tidak faham akan peraturan sampai hal yang paling kecil namun
keinginan untuk bekerja sama dengan kawan bermain amatlah besar. Anak
ingin memahami peraturan dan bermain dengan setiap mengikuti peraturan
itu. Pada tahap ini sifat heteronom berangsur menjadi otonom.
Pada usia 11
sampai 12 tahun kemampuan anak untuk berfikir abstrak mulai berkembang.
Pada umur umur itu, kodifikasi ( penentuan) peraturan sudah dianggap
perlu. Kadang-kadang mereka lebih asyik tertarik pada soal-soal peraturan
daripada menjalankan permainannya sendiri.
Teori Kohlberg
Teori
Piaget kemudian menjadi inspirasi bagi Kohlberg. Hal yang menjadi kajian
Kohlberg adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu
sendiri. Melalui penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg
kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian
dibagi dalam tiga taraf.
1.
Taraf Pra-Konvensional
Pada taraf
ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap
baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis
(berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka) kalau jahat
dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini juga menafsirkan
baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru,
dan orang dewasa lainnya. Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan yaitu :
1)
punishment and obedience orientation. Akibat-akibat fisik dari
tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan
taat secara buta pada yang berkuasa diangga bernilai pada dirinya sendiri.
2) Instrument-relativist orientation. Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar. Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.
2) Instrument-relativist orientation. Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar. Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.
2. Conventional Level ( taraf
Konvensional)
Pada taraf
ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada
dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi , tapi setia kepadanya,
berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha
mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi
diri mereka yang mengusahakan ketertiban social. Dua tahap dalam tahap ini
adalah:
a. Tahap
interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation.
Tingkah laku yang lebih baik adalah tingkah
laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong orang lain dan yang
mendapat persetujuan mereka. Supaya diterima dan disetujui orang
lain seseorang harus berlaku “manis”. Orang berusaha membuat dirinya
wajar seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku. Intensi
tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah
diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir mati
dianggap berintensi baik.
b. Tahap law and
order, orientation.
Otoritas
peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban social
dijunjung tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut benar, bila orang
melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban social.
3. Postoonventional
Level ( taraf sesudah konvensional)
Pada taraf
ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan
berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan
entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana.
Tahapannya adalah :
a.
Social contract orientation.
Dalam tahap
ini orang mengartikan benar-salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu
dsan norma-norma yang sudah teruji di masyarakat. Disadari bahwa
nilai-nilai yang bersiat relative, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu
consensus bersama.
b. The universal ethical principle orientation.
Benar
salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati. Sesuai
dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang bersangkutan, prinsip
prinsip etis itu bersifat avstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah
prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat( nilai) manusia
sebagai pribadi.
Dalam proses
perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan
dalil brikut :
- Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
- Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
- Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3. berdasarkan inilah kohlber percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.
- Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Sesorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.
C. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Teori perkembangan
kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki
pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat
posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap
perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak
dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam
wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan
sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Teori
Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena
didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama,
karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan
dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya
perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran
kehidupan, dan yang ketiga/terakhir
adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan
pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan
kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari
mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna
memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman
modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk
menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan,
baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam
membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa
pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan
oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian
atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan
kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya
ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan
masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia
menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi
sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang
diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan
sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya
sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan
dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan
perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan
seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang
berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan
psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori
psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital,
diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya
cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk
oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori
Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan
setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara
universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap
tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain,
Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan
berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan
melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada
dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian
dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu
dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling
mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat,
pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap
individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha
menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam
tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya
yang berjudul “Childhood and Society”
tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara
terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan
istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap
tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi
yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic
yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin
mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan
waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu
terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa,
secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap
itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap
psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen
kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus
dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian
yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar
personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap
yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap
tahap.
Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami
kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial
yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan
dalam bentuk sebuah gambar Di mana
gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya
dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga.
Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai
adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara
berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai
kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan
sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah
dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan
psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual,
Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek
perkembangan sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal
dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan
Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik
teori psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui
bahwa teori-teori ini berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan.
Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau
usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa
dewasa.
Meminjam kata-kata
Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki
sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian,
setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian
bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu,
melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa
dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan
malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak
berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif
dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu
berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang
terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak
menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung
dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam
tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan
maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan
tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap
tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial,
yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam
delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson
adalah sebagai berikut :
Kedelapan
tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :
Developmental Stage
|
Basic Components
|
Infancy (0-1 thn)
Early childhood (1-3
thn)
Preschool age (4-5 thn)
School age (6-11 thn)
Adolescence (12-10 thn)
Young adulthood ( 21-40
thn)
Adulthood (41-65 thn)
Senescence (+65 thn)
|
Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity
Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs
Stagnation
Ego Integrity vs Despair
|
- Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi
(infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi
didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di
sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap
asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi
menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak
percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat
asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi
tersebut seringkali bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral,
kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada
tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan
kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina
dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur
dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat
membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini
ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan
kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa
hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu
akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial
sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada
didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh
seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa
aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa
tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil
dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya
serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap
lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak
dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa
hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan
lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang
lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran
sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena
orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya
kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian
indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun
anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan
seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata
lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat
terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat
mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan
merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya
frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya
setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga
rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan.
Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada
akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu
perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak
percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang
pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya
perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan
ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya
pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu
harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak
berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi
baik.
Pada aspek lain
dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling
berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap
ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya
dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut
terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan
tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya
akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain,
dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut.
Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang
dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi
suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara
interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan).
Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya
sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang
lain.
- Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Masa kanak-kanak
awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt.
Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri,
dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa
ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa
malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau
persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua
adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa
balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas
yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus
dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu
relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik,
maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua
dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan
mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam
mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu
misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat
mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa
mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut
Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini
akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman
baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat
menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima
control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan
orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak,
anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau
orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian,
sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau
tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam
mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak
pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di
sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi
orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam
kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa
mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan
ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri
bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap
maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu
menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan
malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi
yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak
selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang
mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna.
Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari
suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat
mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat
diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif
yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam
kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak
secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang
dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme.
Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat
menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku
orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola
pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni
merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak
yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada
penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa
ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
- Inisiatif vs Kesalahan
Masa pra sekolah (Preschool Age)
ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah
memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong
melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih
terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut
menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak
mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai
tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3
sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini
ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan
kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar
dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap
inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi
nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara
mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya
akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan
karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya
yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah
atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang
mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness)
merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki
sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki
sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai
suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli
terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan
siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu.
Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah
yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu
akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu
sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa,
sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu
kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara
keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial
adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini
adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami
sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai
fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan
impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh
seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain
kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian,
kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai
keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
- Kerajinan vs Inferioritas
Masa Sekolah (School Age) ditandai
adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan
tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada
di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan
dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan
kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa
rendah diri.
Tahap keempat
ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar
antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah
dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa
rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas
dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek
memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi
perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya
pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi
semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus
dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini
dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di
sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga
dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun
guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada
usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada
umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama
teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan
orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan
rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai
keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin
maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang
mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah
inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak
berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam
tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan
kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik
dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku
yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang
standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat
kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal.
Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk
memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya
sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan
relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal
dengan istilah formalism.
- Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen
(remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20
tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity –
Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh
kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk
dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali
sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan
identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan
dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya
mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap
peran yang diberikan kepada masing-masing anggota
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari
peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini.
Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena
melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam
pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana
cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin
luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat
yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada
tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap
identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara
aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu
sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain,
selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah
menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka
sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi
nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang
lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu,
salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak
tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah
pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion
atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika
kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas,
maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang
bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan
sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap
bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika
kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut
malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini
mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya
mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai
positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan
kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan
memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang
berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan
ketidakkonsistennya.
Ritualisasi yang nampak dalam tahap
adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
- Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima
sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada
masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young
adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa
sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun
pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif,
dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham.
Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan
orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah
ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap
menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang
lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga
mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada
segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan
dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi
lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan
orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan
masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk
dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara
keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai
yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk
mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling
membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga,
sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan
ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang
baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan
sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang
kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
- Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada
pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30
sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan
generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini
individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.
Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan
individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan,
sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk
mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai
dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini
dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna
keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak
berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan.
Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman
ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri
sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak
perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan
sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri
sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang
tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari
semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat
sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa
ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna
mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi
dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara
orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan
otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih
berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang
ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa
dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
- Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson
disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60
atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego
integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau
intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik
pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang
mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang
akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan
untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan
untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia
seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang sampai
pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan
yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya
menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit
dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa
terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap
tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat
diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam
teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima
hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri.
Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat
integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat.
Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan
dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai,
sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua.
Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan
integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang
diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin
dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
D. PERKEMBANGAN SPIRITUAL
Melalui
temanku, Allah memberiku pemahaman tentang perkembangan manusia. Bahwa
perkembangan manusia itu tidak hanya pada peradabannya, tetapi manusia juga
mengalami perkembangan spiritual.
Peradaban
manusia berkembang pesat. Dulu untuk bepergian jauh harus menempuh berhari-hari
lamanya. Sekarang bisa ditempuh hanya dalam hitungan jam dengan menggunakan
pesawat. Kemajuan teknologi membuat peristiwa di belahan bumi yang satu bisa
dilihat saat itu juga di belahan bumi yang lain. Bayi tabung, hingga kloning
pun sudah dilakukan. Peradaban manusia berkembang di seluruh bidang.
Pendidikan, kesehatan, seni, olahraga, teknologi, komunikasi, psikologi,
pertanian, kelautan, astronomi, dst.
Tapi ternyata
tidak hanya itu. Perkembangan spiritual manusia pun berkembang dengan sangat
cepat. Lompatan spiritual. Pengalaman ruhani yang dulu dialami oleh kaum
salafus shaleh, para sufi, para wali, ternyata bisa juga kita alami. Dulu untuk
mencapai tingkat spiritual seperti itu dibutuhkan waktu puluhan tahun, dengan
ibadah ritual yang sangat melelahkan dan harus kontinyu. Kini hanya dalam waktu
yang relatif singkat, cukup beberapa tahun saja manusia bisa mencapainya.
Ibaratnya
begini, untuk mendapatkan teori relativitas
E = mc2 , Einstein membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sekarang hanya dengan kuliah beberapa jam saja, kita bisa langsung paham. Jadi tinggal melanjutkan penemuan berikutnya.
E = mc2 , Einstein membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sekarang hanya dengan kuliah beberapa jam saja, kita bisa langsung paham. Jadi tinggal melanjutkan penemuan berikutnya.
Demikian
halnya dengan berspiritual. Kita tidak perlu mulai dari tangga 1, tapi kita
langsung ke tangga 4, tinggal melanjutkan saja. Sejatinya, Allahlah yang
memberi kepahaman kepada manusia, Allahlah yang mengajarkan kepada manusia,
lompatan spiritual itu.
Walaupun kita
tidak hidup di jaman Rasulullah, namun Allah memberi fasilitas shalawat. Dengan
bershalawat, maka kita bisa berada di ruangan ruhani Rasulullah. Nah, di
ruangan ruhani Rasulullah inilah, kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh
para sahabat Nabi.
Itulah kasih
sayang Allah. Allah sangat adil, walaupun kita dilahirkan jauh dari jaman
Rasulullah, tapi Allah memberi jalan agar kita juga merasakan berada di dekat
Rasulullah, kekasihNya, melalui shalawat. Sehingga kitapun bisa mengalami
lompatan spiritual seperti yang dialami oleh para sahabat Nabi.
Seperti juga
teknik shalat khusyu, yang diajarkan Allah melalui Abu Sangkan yang didapat
dari Bp Slamet Utomo. Dulu untuk mendapatkan cara shalat khusyu ini, yaitu
melalui patrap ini, Pak Haji memerlukan waktu puluhan tahun. Allah mengajarkan
pada beliau sedikit demi sedikit. Lalu diajarkan pada Abu Sangkan dan beberapa
murid lainnya. Kini, hanya dalam 2 hari pelatihan, kita sudah bisa menyerap
ilmu tersebut. Namun, tentu saja masih harus latihan terus menerus.
Khusyu’ itu
memang tidak diperoleh dari latihan. Khusyu itu diberi oleh Allah. Selama ini
kita bukan dilatih untuk khusyu’, tetapi dilatih cara meminta khusyu’, dilatih
untuk menciptakan keadaan yang membuat Allah mau memberikan rasa khusyu’ itu
kepada kita.
Kita hanya dilatih bagaimana menghadap ke Allah yang benar. Selanjutnya jika kita sudah benar cara menghadap dan kemana kita menghadap, maka tinggal menunggu saja respon dari Allah. Khusyu’ itu diberi oleh Allah.
Yang tahu khusyu itu hanya Allah.
Kita hanya dilatih bagaimana menghadap ke Allah yang benar. Selanjutnya jika kita sudah benar cara menghadap dan kemana kita menghadap, maka tinggal menunggu saja respon dari Allah. Khusyu’ itu diberi oleh Allah.
Yang tahu khusyu itu hanya Allah.
Selanjutnya
jika kita sudah khusyu’ maka kita bisa merasakan dekat dengan Allah. Jika dekat
dengan Allah, apa saja mungkin. Kisah-kisah ulama terdahulu yang jalan dinaungi
awanpun, bisa dialami. Yang setiap permintaan kita langsung dikabulkan, itu
juga biasa. Pokoknya hal-hal menakjubkan yang dialami oleh para sahabat Nabi,
bisa dialami manusia di jaman ini.
Namun jangan
terlena, karena bukan fenomena itu yang kita cari. Kita hanya ingin lebih
mengenal Sang Pencipta kita, ma’rifatullah. Sehingga kita bisa selalu berada
dalam bimbinganNya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hidup terasa ringan
karena ada Dia yang selalu siap menolong. Kita bisa menjalankan amanah
mengemban tugas mulia sebagai kahlaifah fil ardl, yang memakmurkan bumi.
Mengenai fenomena yang terjadi, itu hanya bonus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar