MODEL PENANGGULANGAN MASALAH SAMPAH
PERKOTAAN DAN PERDESAAN
I.
PENDAHULUAN
Pertambahan jumlah
penduduk, perubahan pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat telah meningkatkan
jumlah timbulan sampah, jenis, dan keberagaman karakteristik sampah. Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap
berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi serta meningkatnya usaha atau
kegiatan penunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga memberikan kontribusi
yang besar terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan. Meningkatnya volume timbulan sampah
memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah yang tidak mempergunakan metode dan
teknik pengelolaan sampah yang ramah lingkungan selain akan dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan juga akan sangat mengganggu kelestarian
fungsi lingkungan baik lingkungam pemukiman, hutan, persawahan, sungai dan
lautan.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari
manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah
dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan
dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat
digolongkan menjadi: 1) sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah
organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang
tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan
dan lain-lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya
(B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang
mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya.
Untuk mewujudkan kota bersih dan hijau, pemerintah telah mencanangkan berbagai
program yang pada dasarnya bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam pengelolaan sampah. Program Adipura misalnya pada tahun 2007
telah mampu mengantarkan Provinsi Bali menjadi Provinsi Adipura karena semua
kabupaten dan kota di Bali telah berhasil mendapatkan Anugerah Adipura.
Walaupun telah mendapat adipura bukan berarti tidak terdapat permasalahan
sampah, Apresiasi pemerintah dan masyarakat selalu dituntut untuk melakukan
pengelolaan sampah sehingga pada gilirannya sampah dapat diolah secara mandiri
dan menjadi sumberdaya. Mencermati penomena di atas maka sangat diperlukan model
pengelolaan sampah yang baik dan tepat dalam upaya mewujudkan perkotaan dan
perdesaan yang bersih dan hijau di
Provinsi Bali.
II.
FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM PENGELOLAAN SAMPAH
Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan
kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumberdaya. Dari sudut
pandang kesehatan lingkungan,
pengelolaan sampah dipandang baik jika sampah tersebut tidak menjadi media berkembang biaknya bibit penyakit serta sampah tersebut tidak
menjadi medium perantara menyebarluasnya
suatu penyakit. Syarat lainnya yang harus dipenuhi, yaitu tidak
mencemari udara, air dan tanah, tidak menimbulkan bau (tidak mengganggu nilai
estetis), tidak menimbulkan kebakaran dan yang lainnya ( Aswar, 1986).
Meningkatnya volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat urban dapat
disaksikan dari Kota Denpasar, yaitu
pada tahun 2002 rata-rata produksi sampah sekitar 2.114 m3/hari yang
bersumber dari sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan
sampah spesifik. Dalam jangka waktu 4 tahun, yaitu tahun 2006, jumlah produksi
sampah telah meningkat menjadi 2.200 m3/hari (Tim Kota Sanitasi Kota Denpasar, 2007). Sementara itu,
rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah menjadi suatu permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam
pengelolaan lingkungan bersih dan sehat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan sampah di antaranya: (1) sosial
politik, yang menyangkut kepedulian dan komitment pemerintah dalam menentukan
anggaran APBD untuk pengelolaan lingkungan (sampah), membuat keputusan publik
dalam pengelolaan sampah serta upaya
pendidikan, penyuluhan dan latihan keterampilan untuk meningkatkan kesadaran
dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah, (2) Aspek Sosial
Demografi yang meliputi sosial ekonomi (kegiatan pariwisata, pasar dan
pertokoan, dan kegiatan rumah tangga, (3) Sosial Budaya yang menyangkut keberadaan dan interaksi antarlembaga
desa/adat, aturan adat (awig-awig), kegiatan ritual (upacara adat/keagamaan),
nilai struktur ruang Tri Mandala, jiwa pengabdian sosial yang tulus, sikap
mental dan perilaku warga yang apatis, (4) keberadan lahan untuk tempat
penampungan sampah, (5) finansial (keuangan), (6) keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dan (5) kordinasi antarlembaga yang terkait dalam penanggulangan masalah
lingkungan (sampah).
Pengelolaan sampah perkotaan juga memiliki faktor-faktor pendorong dan
penghambat dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah. Menurut hasil penelitian Nitikesari (2005) faktor-faktor tersebut di
antaranya adalah tingkat pendidikan, penempatan tempat sampah di dalam rumah,
keberadaan pemulung, adanya aksi kebersihan, adanya peraturan tentang
persampahan dan penegakan hukumnya. Tingkat partisipasi masyarakat perkotaan
(Kota Denpasar) dalam menangani sampah secara mandiri masih dalam katagori
sedang sampai rendah, masyarakat masih enggan melakukan pemilahan sampah.
Sampah semakin
hari semakin sulit dikelola, sehingga disamping kesadaran dan partisipasi
masyarakat, pengembangan teknologi dan model pengelolaan sampah merupakan usaha
alternatif untuk memelihara lingkungan yang sehat dan bersih serta dapat
memberikan manfaat lain.
III.
KONDISI PENGELOLAAN SAMPAH SAAT INI
Berdasarkan data SLHD Bali (2005) tampak bahwa pada saat ini sampah sulit
dikelola karena berbagai hal, antara lain:
a. Cepatnya perkembangan teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan memahami porsoalan sampah,
b. Menigkatnya tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan
keselarasan pengetahuan tentang sampah
c. Meningkatnya biaya operasional
pengelolaan sampah
d. Pengelolaan sampah yang tidak efisien dan tidak benar menimbulkan
permasalahan pencemaran udara, tanah, dan air serta menurunnya estetika
e. Ketidakmampuan memelihara barang, mutu produk teknologi yang rendah akan
mempercepat menjadi sampah.
f. Semakin sulitnya mendapat lahan sebagai tempat pembuangan ahir sampah.
g. Semakin banyaknya masyarakat yang keberatan bahwa daerahnya dipakai tempat
pembuangan sampah.
h. Sulitnya menyimpan sampah yang cepat busuk, karena cuaca yang panas.
i. Sulitnya mencari partisipasi masyarakat untuk membuang sampah pada
tempatnya dan memelihara kebersihan.
j. Pembiayaan yang tidak memadai, mengingat bahwa sampai saat ini kebanyakan
sampah dikelola oleh pemerintah.
Penanganan sampah yang telah dilakukan adalah pengumpulan sampah dari
sumber-sumbernya, seperti dari masyarakat (rumah tangga) dan tempat-tempat umum
yang dikumpulkan di TPS yang telah disediakan. Selanjutnya diangkut dengan truk
yang telah dilengkapi jarring ke
TPA. Bagi daerah-daerah yang belum
mendapat pelayanan pengangkutan mengingat sarana dan prasara yang terbatas
telah dilakukan pengelolaan sampah secara swakelola dengan beberapa jenis
bantuan fasilitas pengangkutan.
Bagi Usaha atau kegiatan yang
menghasilkan sampah lebih dari 1 m3/hari diangkut sendiri oleh
pengusaha atau bekerjasama dengan pihak lainnya seperti desa/kelurahan atau
pihak swasta. Penanganan sampah dari sumber-sumber sampah dengan cara tersebut cukup efektif.
Beberapa usaha yang telah berlangsung di TPA untuk mengurangi volume
sampah, seperti telah dilakukan pemilahan oleh pemulung untuk sampah yang dapat
didaur ulang. Ini ternyata sebagai
matapencaharian untuk mendapatkan penghasilan.
Terhadap sampah yang mudah busuk telah dilakukan usaha pengomposan. Namun usaha tersebut masih menyisakan sampah
yang harus dikelola yang memerlukan biaya yang tinggi dan lahan luas.
Penanganan sisa sampah di TPA sampai saat ini masih dengan cara pembakaran baik
dengan insenerator atau pembakaran di
tempat terbuka dan open dumping dengan pembusukan secara alami. Hal ini menimbulkan permasalahan baru bagi
lingkungan, yaitu pencemaran tanah, air, dan udara.
Pengelolaan sampah dimasa yang akan datang perlu memperhatikan berbagai hal
seperti:
1.
Penyusunan Peraturan daerah (Perda) tentang
pemilahan sampah
2.
Sosialisasi pembentukan kawasan bebas sampah, seperti
misalnya tempat-tempat wisata, pasar,
terminal, jalan-jalan protokol, kelurahan, dan lain sebagainya
3.
Penetapan peringkat kebersihan bagi kawasan-kawasan umum
4.
Memberikan tekanan kepada para produsen barang-barang dan
konsumen untuk berpola produksi dan konsumsi yang lebih ramah lingkungan
5.
Memberikan tekanan kepada produsen untuk bersedia menarik (membeli) kembali dari masyarakat
atas kemasan produk yang dijualnya, seperti bungkusan plastik, botol, alluminium foil, dan lain lain.
6.
Peningkatan peran masyarakat melalui pengelolaan sampah
sekala kecil, bisa dimulai dari tingkat desa/kelurahan ataupun kecamatan,
termasuk dalam hal penggunaan teknologi daur ulang, komposting, dan penggunaan
incenerator.
7.
Peningkatan efektivitas fungsi dari TPA
8.
Mendorong transformasi (pergeseran) pola konsumsi
masyarakat untuk lebih menyukai produk-produk yang berasal dari daur ulang.
9.
Pengelolaan sampah dan limbah secara terpadu
10.
Melakukan koordinasi dengan instansi terkait baik di
pusat maupun daerah, LSM, Perguruan Tinggi untuk peningkatan kapasitas
pengelolan limbah perkotaan
11.
Melakukan evaluasi dan monitoring permasalahan
persampahan dan pengelolaannya, kondisi TPA dari aspek lingkungan, pengembangan
penerapan teknologi yang ramah lingkungan
12.
Optimalisasi pendanaan dalam pengelolaan sampah
perkotaan, pengembangan sistem pendanaan pengelolaan sampah
13.
Konsistensi pelaksanaan peraturan perundangan tentang
persampahan dan lingkungan hidup.
14.
Meningkatkan usaha swakelola penanganan sampah terutama
sampah yang mudah terurai ditingkat desa/kelurahan
15.
Memberikan fasilitasi, dorongan, pendampingan/advokasi
kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan pengelolaan sampah.
Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan telah melakukan
kerjasama dalam usaha pengelolaan sampah secara terpadu yang berorientasi pada
teknologi. Pengelolaan sampah dengan pendekatan teknologi diharapkan
penanganan sampah lebih cepat, efektif dan efisien serta dapat memberikan
manfaat lain.
IV.
MODEL PENGELOLAAN MASALAH SAMPAH PERKOTAAN DAN PERDESAAN
Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pada Pasal 5
UU Pengelolan Lingkungan Hidup No.23 Th.1997, bahwa masyarakat berhak
atas Lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk mendapatkan hak tersebut,
pada Pasal 6 dinyatakan bahwa masyarakat dan pengusaha
berkewajiban untuk berpartisipasi dalam memelihara kelestarian
fungsi lingkungan, mencegah dan
menaggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Terkait dengan ketentuan tersebut, dalam UU
NO. 18 Tahun 2008 secara eksplisit juga dinyatakan, bahwa setiap orang mempunyai
hak dan kewajiban dalam pengelolaan sampah. Dalam hal pengelolaan sampah pasal
12 dinyatakan, setiap orang wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara berwawasan lingkungan. Masyarakat
juga dinyatakan berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan,
pengelolaan dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah. Tata cara partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik dan tatanan sosial budaya
daerah masing-masing. Berangkat dari ketentuan tersebut, tentu menjadi
kewajiban dan hak setiap orang baik
secara individu maupun secara kolektif, demikian pula kelompok masyarakat pengusaha dan komponen masyarakat
lain untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan sampah dalam upaya
untuk menciptakan lingkungan perkotaan dan perdesaan yang baik, bersih, dan sehat.
Beberapa pendekatan dan teknologi pengelolaan dan
pengolahan sampah yang telah dilaksanakan antara lain adalah:
1. Teknologi
Komposting
Pengomposan adalah salah
satu cara pengolahan sampah, merupakan proses dekomposisi dan stabilisasi bahan
secara biologis dengan produk akhir yang cukup stabil untuk digunakan di lahan
pertanian tanpa pengaruh yang merugikan (Haug, 1980). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2008) menemukan bahwa pengomposan
dengan menggunakan metode yang lebih modern (aerasi) mampu menghasilkan kompos
yang memiliki butiran lebih halus, kandungan C, N, P, K lebih tinggi dan pH, C/N rasio, dan kandungan
Colform yang lebih rendah
dibandingkan dengan pengomposan secara konvensional.
2. Teknologi Pembuatan Pupuk Kascing
3. Pengolahan sampah menjadi listrik. Kota Denpasar,
Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan telah melakukan kerjasama dalam usaha
pengelolaan sampah secara terpadu yang berorientasi pada teknologi dalam suatu
Badan Bersama yaitu SARBAGITA. Teknologi yang direncanakan yaitu teknologi
GALFAD (gasifikasi landfill dan anaerobic digestion). Pengelolaan sampah
dengan pendekatan teknologi diharapkan penanganan sampah lebih cepat, efektif
dan efisien serta dapat memberikan manfaat lain.
4. Pengelolaan sampah mandiri
Pengolahan sampah
mandiri adalah pengolahan sampah yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi
sumber sampah seperti di rumah-rumah tangga. Masyarakat perdesaan yang umumnya
memiliki ruang pekarangan lebih luas memiliki peluang yang cukup besar untuk
melakukan pengolahan sampah secara mandiri. Model pengelolaan sampah mandiri
akan memberikan manfaat lebih baik terhadap lingkungan serta dapat mengurangi
beban TPA. Pemilahan sampah secara mandiri oleh masyarakat di Kota
Denpasar masih tergolong rendah yakni
baru mencapai 20% (Nitikesari, 2005).
5 . Pengelolaan sampah berbasis masyarakat
1) Berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan sampah
pemukiman kota yang ada di Desa Seminyak, Sanur Kauh dan Sanur Kaja, dan Desa Temesi Gianyar, yaitu: masalah
pengadaan lahan untuk lokasi devo, terbatasnya peralatan teknologi dan
perawatannnya, terbatasnya dana untuk perekrutan tenaga kerja baru yang
memadai, produksi kompos yang masih rendah, sulit dan terbatasnya pemasaran
kompos sehingga secara ekonomi pengelola cendrung mengalami defisit.
2) Model pengelolaan sampah pemukiman kota yang berbasis sosial kemasyarakatan
dapat dilakukan secara adaptif dengan memperhatikan aspek karakteristik sosial
dan budaya masyarakat, aspek ruang (lingkungan), volume, dan jenis sampah yang
dihasilkan.
Pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebaiknya dilakukan secara sinergis (terpadu) dari
berbagai elemen (Desa, pemerintah, LSM, pengusaha/swasta, sekolah, dan komponen
lain yang terkait) dengan menjadikan
komunitas lokal sebagai objek dan subjek
pembangunan, khususnya dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan lingkungan
bersih, aman, sehat, asri, dan lestari
Undang-Undang tentang pengelolaan sampah telah menegaskan berbagai larangan
seperti membuang sampah tidak pada tempat yang ditentukan dan disediakan,
membakar sampah yang tidak sesaui dengan persyaratan teknis, serta melakukan
penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di TPA. Penutupan TPA dengan
pembuangan terbuka harus dihentikan dalam waktu 5 tahun setelah berlakunya UU
No. 18 Tahun 2008. Dalam upaya pengembangan model pengelolaan sampah
perkotaan harus dapat melibatkan
berbagai komponen pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, pengusaha,
LSM, dan masyarakat. Komponen masyarakat perkotaan lebih banyak berasal dari
pemukiman (Desa Pakraman dan Dinas), sedangkan di perdesaan umumnya masih
sangat erat kaitannya dengan keberadaan kawasan persawahan dengan kelembagaan
subak yang mesti dilibatkan. Pemilihan model sangat tergantung pada
karakteristik perkotaan dan perdesaan serta karakteristik sampah yang ada di
kawasan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar