BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan sektor informal di Negara kita tidak terlepas dari proses
pembangunan yang sedang dilaksanakan. Karena itu sektor informal telah menjadi
pusat perhatian perencanaan pembangunan, terutama di Negara sedang berkembang,
dan dipandang sebagai salah satu alternatif penting dalam memecahkan masalah
ketenagakerjaan. Pertumbuhan penduduk yang terbesar terjadi diperkotaan, dimana
pertumbuhan ini bukan hanya diakibatkan oleh faktor kelahiran tetapi juga
karena faktor migrasi. Adanya faktor-faktor ini tidak diimbangi dengan
adanya lapangan pekerjaan yang cukup.
Dengan tingginya angka migrasi penduduk dari desa ke kota secara langsung maupun tidak langsung
menimbulkan permasalahan yang besar di perkotaan. Sebagian besar orang yang
baru datang dari daerah asalnya belum tentu langsung mendapatkan pekerjaan,
berarti masih mengganggur. Salah satu menanggulangi adalah dengan berusaha
sendiri di sektor informal khususnya menjadi pedagang kaki lima. Selain faktor imigrasi yang merupakan
salah satu penyebab munculnya sektor informal, penyebab lain yang menimbulkan
adanya sektor informal adalah berkurangnya kesempatan kerja akibat meningkatnya
angkatan kerja, baik yang diakibatkan oleh penduduk yang berimigrasi maupun
penduduk asli yang ada didaerah tersebut. Secara otomatis penduduk yang setiap
tahunnya bertambah membutuhkan biaya untuk keperluan hidupnya. Apalagi biaya
hidup dikota sangat tinggi dan sangat jelas bahwa salah satu alternatif untuk
mendapatkan penghasilan adalah berusaha di sektor informal.
B. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
2. Kegunaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Sektor Informal
Istilah “sektor
informal” biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang
berskala kecil. Tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan”
berskala kecil karena beberapa alasan berikut ini. Sektor informal dalam
tulisan ini terutama dianggap sebagai suatu manifestasi dari situasi
pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang; karena itu mereka
yang memasuki kegiatan berskala kecil ini di kota, terutama bertujuan untuk
mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Karena
mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan sangat
rendah, tidak trampil, dan kebanyakan
para migran, jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis yang mencari investasi
yang menguntungkan dan juga bukan pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya.
Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan
menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri. Bagaimanapun juga,
harus diakui bahwa banyak diantara mereka berusaha dan bahkan berhasil
mengatasi hambatan-hambatan yang ada dan secara perlahan-lahan masuk ke dalam
perusahaan berskala kecil dengan jumlah modal dan ketrampilan yang memadai, dan
semestinya dengan orientasi yang lebih besar kepada keuntungan.
Dengan kata lain, sektor informal di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat
dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses
evolusi, daripada dianggap sebagai kelompok perusahaan yang berskala kecil
dengan masukan-masukan (inputs) modal
dan pengelolaan (managerial) yang
besar. Dasar pemikiran untuk mengadakan pembedaan yang demikian ini tidak perlu
dipersoalkan lagi, juga mengenai signifikansi operasional dan kebijakannya.
Misalnya, asumsi umum tentang program pengembangan perusahaan kecil pada
umumnya tidak sahih (valid) bagi
pengembangan sektor informal; kebijakan-kebijakan untuk pengembangan sektor ini
harus melebihi program pengembangan perusahaan kecil dan mengidentifikasi serta
memperbaiki faktor-faktor yang menyangkut evolusinya, termasuk lingkungan
sektor informal.
Konseptualisasi sektor informal tersebut di atas, walaupun bermanfaat,
namun belum dapat memecahkan masalah definisi. Masih dibutuhkan beberapa
definisi untuk menentukan batas sektor ini baik dari sudut pandangan
operasional maupun penelitian. Barangkali skala operasi adalah karakteristik
terpenting yang muncul dari kerangka di atas dan dapat dipakai sebagai suatu
alat untuk memisahkan kegiatan ekonomi sektor informal dari semua kegiatan
ekonomi sektor-sektor lainnya. Meskipun skala operasi dapat diukur dengan
berbagai macam cara, antara lain meliputi besarnya modal, omzet, dan lain-lain,
tetapi karena ciri-ciri ini biasanya sangat erat hubungannya satu sama lain,
maka alat ukur yang paling tepat untuk mengukur skala operasi adalah jumlah
orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Melihat ekonomi kota sebagai suatu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari unit-unit produksi dan distribusi, maka
untuk kepentingan tulisan ini, unit-unit yang memiliki 10 orang ke bawah
diklasifikasikan ke dalam sektor informal dalam segala bidang (meskipun ada
kekecualian). (Manning, 1991: 90-91)
Tulisan Keith Hart, seorang antropol inggris untuk
pertama kalinya melontarkan gagasannya mengenai sektor informal. Sejak
munculnya konsep ini banyak penelitian dan kebijakan mulai menyoroti masalah
kesempatan kerja kelompok miskin di kota secara khusus. Menurut Hart,
kesempatan kerja di kota terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu formal , informal
sah, dan informal yang tidak sah. Selain itu, pembedaan sektor formal dan
informal dilihat dari ketentuan cara kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan
waktu, serta status hukum kegiatan yang dilakukan. (Manning, 1991: 75)
B. Urbanisasi Sebagai Salah Satu Faktor Timbulnya Sektor
Informal
di Perkotaan
Di negara yang sedang berkembang, urbanisasi merupakan problem yang
cukup kompleks untuk dipecahkan. Kota
mempunyai daya tarik tertentu bagi orang desa, yaitu sebagai pusat pembaharuan, pusat perkembangan
ekonomi, puasat mode, pusat segala pendidikan, serta pusat hiburan. Dari
berbagi observasi yang dilakukan motif orang desa pindah ke kota ada bermacam-macam, yaitu sebagai
berikut :
a) Melanjutkan
pendidikan, karena di desa tidak tersedia atau mutunya kurang baik dibandingkan
dengan di kota.
b) Terpengaruh
oleh informasi orang desa yang ada di kota bahwa
kehidupan di kota
lebih mudah.
c) Tingkat
upah lebih tinggi di kota.
d) Keamanan
lebih terjamin di kota.
e) Adat
atau agama lebih longgar di kota.
(Sukanto dan Karseno, 2001 : 111-112)
Proses urbanisasi di Indonesia
disebabkan oleh faktor pendorong dan penarik. Faktor-faktor pendorong meliputi
antara lain aspek-aspek ; perbandingan jumlah penduduk dengan luas tanah di
pedesaan yang pincang, kurangnya lapangan kerja di luar bidang pertaniandan
rendahnya pendapatan. Sedangkan faktor-faktor penarik mencakup antara lain
aspek ; tarikan kota berupa lapangan kerja, upah
yang lebih tinggi, kelengkapan prasarana dan sarana yang bada di kota, dan adanya selingan
serta hiburan dalam kehidupan. (Radli Hendro Koetoer, 2001: 122)
Para migran yang
mencari kerja dikota pada umumnya tidak memiliki keterampilan dan pendidikannya
relatif rendah sehingga mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak seperti
yang diinginkan, sehingga alternatif yang dipilih dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sebagian dari mereka terjun ke sektor informal.
- Dampak Sektor Informal Terhadap Kebutuhan Ruang di Perkotaan
Studi Kasus :
MENATA PKL PERLU PENATAAN RUANG
Fenomena pertumbuhan suatu kota
tentu diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk, akibat proses migrasi atau
urbanisasi (baca: urbanward migration) dari daerah hinterland.
Fenomena tersebut juga terjadi di Kota Semarang, di satu sisi
merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk ditangani dan di satu sisi
merupakan suatu proses yang tidak dapat dibatasi pertumbuhannya.
Upaya-upaya untuk menangani proses migrasi daerah hinterland
menuju daerah pusat kota
dengan kebijaksanaan pembatasan pertumbuhan penduduk menunjukkan tanda-tanda
ketidakberhasilan.
Menurut Sturaman (1981), sektor informal kota
dalam hal ini khusus pedagang kaki lima (PKL)
semakin merebak di Kota Semarang. Munculnya sektor informal (PKL)
tersebut merupakan implikasi adanya pertumbuhan dan perkembangan suatu kota.
Tata Ruang
Beberapa penanganan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang
dalam menangani permasalahan PKL antara lain dengan melakukan relokasi
pedagang, seperti yang dilakukan pada PKL di Kokrosono. Kemudian rencana Pemkot
memindahkan PKL dari Jl Citarum Raya ke Jl Citandui Selatan mendapat reaksi
keras dari warga Bugangan. Warga mengaku keberatan dengan rencana tersebut
karena khawatir PKL akan mengotori lingkungan. Mereka juga keberatan tanah
milik Pemkot seluas 1.250 m2 yang akan digunakan sebagai tempat relokasi
merupakan pusat aktivitas warga. Selain warga, reaksi keberatan juga
dilontarkan oleh para pedagang yang berjualan di sisi selatan Jl Citarum Raya. Para pedagang itu keberatan karena tempat relokasi auh
dari akses pembeli. Ada pro dan kontra dalam
penataan PKL di Kota Semarang,
pedagang dan warga tolak relokasi PKL (SM, 21 Maret 2005).
Hal yang perlu dicermati dalam penanganan PKL yang telah dilakukan
di Kota Semarang adalah kurangnya pemahaman Pemerintah Kota terhadap kondisi dan karakterisasi PKL.
Terkadang mereka asal main gusur, tanpa memperhatikan karakteristik PKL, baik
karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Mestinya Pemkot tidak
melakukan upaya eksekusi putusan secara sepihak dalam bentuk apa pun sebelum
muncul suatu solusi yang menguntungkan bagi semua pihak (pedagang, warga dan
Pemkot).
Keputusan perlu dilakukan musyawarah dengan para pedagang dan
warga. Pemerintah perlu memberikan pembinaan terhadap PKL seperti tertuang
dalam Perda Nomor 11/2000 pasal 9 yang berbunyi: ''Pemerintah Daerah
berkewajiban menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah''. Sehingga
mereka yang bergelut sebagai ''kaum marginal'' atau golongan''have nots''
dapat hidup yang layak sesuai dengan kemampuannya atas pekerjaan yang layak.
Artinya bahwa kebijakan penataan PKL hendaknya jangan bertentangan dengan UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 38 ayat 1.
Oleh
karenanya Pemkot dalam melakukan penataan PKL perlu memperhatikan karakteristik
lokasi maupun karakteristik pasar PKL dan mempertimbangkan nilai-nilai penataan
ruang antara lain nilai kepentingan semua pihak. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/12/kot20.htm)
BAB III
PENUTUP
Pada bab ini, penulis akan menarik beberapa kesimpulan
berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya. Sebagai bahan masukan
dari penyusun, maka akan dikemukakan beberapa saran sehubungan dengan dampak
yang ditimbulkan sektor informal.
1. Kesimpulan
Berdasarkan bahasan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan, sebagai berikut Sektor informal merupakan obat manjur terhadap
masalah pekerjaan di perkotaan, dan dapat memberikan wadah untuk menumbuhkan
bakat para pengusaha lokal.
2. Rekomendasi
Berikut ini akan diajukan saran untuk menjadi perhatian
dalam penanganan masalah sektor informal diperkotaan yaitu dengan cara
pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
mengubah sektor informal menjadi formal, dalam artian Pemerintah harus bekerjasama
dengan pihak yang ada di sektor informal dengan cara menyediakan lahan khusus
untuk pedagang sektor informal.
ngayat lu peak
BalasHapus